Senin, 09 Januari 2012

Puisi Mbeling dan Tulisan Mbeling (I)

Tulisan ini sah-sah saja serta silakan-silakan saja jika kemudian dianggap “sekadar” bahkan tulisan suka-suka. Dalam hal ini, Gus Noy tidak sedang membuat “sejenis tandingan” bagi Sabda Paduka Raja Puisi Mbeling. Memang tidaklah perlu “bertanding” karena seorang Gus Noy BUKAN SIAPA-SIAPA! Kau catat baik-baik : GUS NOY BUKAN SIAPA-SIAPA. Gampang, kan?

Bukan siapa-siapa, dan tulisan ini bukan apa-apa. Anggap saja tulisan ini hanya sebuah MAIN-MAIN. Bagi yang sudi membaca, silakan membaca. Bagi yang tidak sudi membaca, lewatkan saja. Tidak ada aturan “HARUS DIBACA!”, bahkan tambahan kutukan apa pun itu.

Dan seorang Gus Noy memang sedang bermain-main melalui tulisan ini. Kau tahu, Gus Noy suka bermain-main. Oleh karenanya, penting sekali disampaikan sebagai semacam PERINGATAN kepada Sidang Pembaca yang terhormat, supaya tidak menilai tulisan ini sebagai tulisan bagus-bermutu, yang semoga tidak membuat para wakil Tuhan Maha Puisi dan para wakil Dewa Maha Mbeling gusar, lalu turun gunung, lantas menggampar, menghajar seorang Gus Noy habis-habisan gara-gara mendakwa seorang Gus Noy sebagai perusak pakem sebuah tulisan.

Tanpa perlu berpanjang kalimat dan paragraf, tulisan ini pun dilanjutkan. Silakan kau simak, atau kau campak.

Kesucian Puisi
Puisi, menurut Panuti Sudjiman dalam Kamus Istilah Sastra (Universitas Indonesia, Jakarta, 1990), adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait.

Puisi, menurut Pamusuk Eneste dalam Kamus Sastra Untuk Pelajar (Nusa Indah, Flores, 1994), terbagi menjadi dua, yaitu puisi lama dan puisi baru. Puisi lama itu puisi yang terikat pada jumlah bait, jumlah baris dalam satu bait, rima, irama, kemerduan bunyi, dan lain-lain. Sedangkan puisi baru tidak terlalu terikata pada jumlah bait, jumlah baris dalam satu bait, rima, irama, kemerduan bunyi, dan lain-lain.

Masih ada lagi definisi puisi menurut ahli-ahli sastra lainnya, yang lebih kau ketahui, pahami, hayati, dan hidupi daripada tulisan suka-suka ini. Dengan kalimat lain, puisi memiliki definisi, esensi, kaidah, kriteria, standar, ukuran, rumus, aturan, dan sejenisnya. Tidak boleh seenaknya mengatakan tulisan sebagai puisi, atau jangan sembarangan memberi cap “puisi” kepada tulisan yang, kendatipun oleh penulisnya, dianggap puisi.

Aturan dan larangan yang bertetek bengek itu telah meningkatkan derajat, martabat, dan gengsi puisi menjadi seolah-olah sesuatu yang keramat, kudus-suci, sakral, semacam Sabda Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Puisi dalam kitab-kitab suci. Dan para ahli puisi pun seketika menganggap diri mereka adalah wakil (kalau tidak berani disebut “rasul”) Tuhan Maha Puisi, yang menjadi penentu atas kelayakan sebuah tulisan disebut puisi atau bukan.

“Kesucian puisi” yang disabdakan oleh “wakil-wakil” Tuhan Maha Puisi itu mengakibatkan tidak sedikit orang muda akhirnya ketakutan lantas enggan untuk menulis sepucuk puisi dan mengaktualisasikannya kepada umum. Di sisi lain, sebagian orang-orang muda yang tidak mengetahui “kesucian puisi” alias awam, suka menulis sesuatu yang indah-indah, dan menurut mereka tulisan itu adalah puisi.

Mbeling
Kata “mbeling” berasal dari bahasa Jawa, yang menurut S. Prawiroatmodjo dalam Bausastra Jawa- Indonesia (CV Haji Masagun, Jakarta, 1988), artinya nakal, keras kepala.

Nakal, menurut W.J.S. Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 1986), artinya suka berbuat kurang baik (tidak menurut, mengganggu, dsb terutama bagi anak-anak), buruk kelakuan (lacur, dsb).

Keras kepala, masih menurut Poerwadarminta, artinya tegar, tidak mau menurut (mengalah, dsb).

Kalau boleh disimpulkan, mbeling itu berarti nakal, keras kepala, kurang baik, tidak menurut/patuh, mengganggu, kelakuan buruk, lacur, keras kepala, tegar, tidak mau mengalah, dan sejenisnya.

Mbeling juga, kalau boleh diartikan lagi, mungkin sama dengan ugal-ugalan, berandal, memberontak, membangkang, seenak perut sendiri, suka-suka, perusak norma-kaidah, dan seterusnya. Intinya: kurang baik atau malah tidak baik, dan buruk. Kalau sudah buruk, selesai! Mbeling pun tuntas!

Puisi Mbeling
Definisi “puisi mbeling” dari hasil cuplikan Cunong Nunuk Suraja dalam sebuah pengantar untuk sebuah rencana (sekali lagi, r-e-n-c-a-n-a) buku Sejaring Sajak Singkat : Cinta Sesaat, adalah sebagai berikut.

Pandangan Jeihan, “Puisi mbeling adalah puisi yang membumikan persoalan secara konkret, langsung mengungkapkan gagasan kreatif ke inti makna tanpa pencanggihan bahasa.”

Pandangan Jakob Sumarjo, “Puisi mbeling adalah bermain demi permainan itu sendiri. Kenikmatan puisi mbeling terletak pada kesipan pembaca untuk memasuki permainan kata-kata dan bentuk-bentuk dalam kata-kata atau huruf-huruf demi permainan itu sendiri. Kalau pembaca menemukan kenikmatan atau pesona di situ, maka cukuplah sudah puisi semacam itu (puisi mbeling).”

Menurut Sapardi Djoko Damono dalam esainya Puisi Mbeling, “Suatu usaha pembebasan (Bahasa dan Sastra, tahun IV No.3/1978, Pusat Pengembangan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud) beliau mengatakan bahwa istilah mbeling kurang lebih berarti nakal, kurang ajar, sukar diatur, dan suka berontak.”


Pandangan Soni Farrid Maulana, “Jika puisi lirik merupakan sebuah jalan raya, maka puisi mbeling adalah sebuah jalan tikus yang memaksa orang menghentikan kendaraannya melewati jalan raya yang macet itu, yang kemudian dipilihnya jalan tikus untuk sampai ke tempat tujuan. Tentu saja, dalam melewati jalan tikus itu orang tidak akan mendapat pemandangan indah. Tidak akan mendapatkan langit yang senantiasa bersih warna birunya. Pemandangan yang ada di situ, bisa jadi deretan jemuran celana dalam, wajah-wajah yang kumuh didera kemiskinan, parodi-parodi kehidupan dan sebagainya dan sebagainya.”

Menurut catatan Soedjarwo, Th. Sri Rahayu Prihatmi, dan Yudiono, K.S. dalam buku Puisi Mbeling : Kitsch dan Sastra Sepintas (Indonesiatera, Magelang, 2001) pagina 7, puisi mbeling adalah sebagai berikut.

Puisi Mbeling pertama kali dimuat dalam majalah Aktuil, bulan Agustus 1972. Rumusan pengasuh ruangan puisi mengenai kata “mbeling” tersebut ialah “sikap nakal yang tahu aturan” (Redaksi Aktuil, 1973). Tujuan menghadirkan puisi jenis ini ialah untuk menggugah nilai-nilai bokek – nilai seni kaum tua yang terlalu dijlimetkan dengan teori-teori yang sudah tidak cocok, kaku. Puisi mbeling perupakan upaya untuk pemberontakan terhadap puisi mapan, “yang hanya bicara soal bunga, awan, kuda, cacing, sawah, laut, dan padi”.

Masih dalam pagina 7, perbedaan esensial antara puisi mbeling dan puisi kaum tua ialah bahwa puisi mbeling “menerima apa adanya”, seperti halnya kesenian kontemporer (Redaksi Aktuil, 1972a). Puisi mbeling dimaksudkan sebagai media tandingan terhadap puisi yang “establish” yang mendewakan bobt dan pesan.

Puisi mbeling, pada tahun 1973, berganti nama menjadi “puisi lugu”. Alasannya, mbeling terus-menerus dapat menjadi kampungan. Lugu, menurut Remy Sylado, ialah sikap menerima apa adanya (Sylado, 1973c). Lugu menerima persoalan tanpa keterbatasan ruang dan waktu atau absurd tak absurd (Sylado, 1973a). Di dalam keluguan, segala persoalan tentang nilai tembus dalam semua ruang dan keadaan dan peristiwa dan waktu dan pertentangan (Sylado, 1973d).

Dari puisi mbeling menjadi puisi lugu, selanjutnya berubah menjadi “puisi awam” pada tahun 1975. Puisi awam dimaksudkan sebagai puisi porsi kaum awam. Sasarannya ialah mencapai kepuasan, kesenangan, kegembiraan, dan rekreasi bagi publik yang awam (Suriatmadja, 1975a).

Sebelum ruangan puisi mbeling dibuka dalam majalah Aktuil, majalah Stop telah membuka ruang puisi yang diberi nama “puisi-puisi setengah mateng”, lalu mengganti dengan nama “Remaja Underground”. Remy Sylado, sang wakil Dewa Maha Mbeling, pun pindah, dari majalah Aktuil ke majalah Top dan membuka ruang puisi dengan nama “Soliloquy”.

Begitulah kisah singkat para wakil Dewa Maha Mbeling membuat rumusan, doktrin, dogma, aturan, bahkan sabda suci bernama “puisi mbeling”. Gelar “wakil Dewa Maha Mbeling” ini sengaja untuk menandingkannya dengan “wakil Tuhan Maha Puisi”. Biar kelihatan setara kemampuan tandingnya.


Tulisan Mbeling
Tulisan ini mencukupkan istilah dan tetek-bengek puisi mbeling dalam majalah Aktuil sampai di situ. Dan tulisan ini murni bermain-main, bernakal-nakal, tidak peduli aturan baku penulisan, dan lain sebagainya. Ini tulisan mbeling. Kau catat saja : TULISAN MBELING. Titik! Gampang, kan?

Di atas tadi ada tiga perjalanan kata (sebutan) yang lumayan menarik, yaitu mbeling, lugu, dan awam. Sebelumnya sudah dijelaskan arti “mbeling”. Berikutnya arti “lugu”, yang menurut Poerwadarminta, ialah sewajarnya, apa adanya. Sedangkan “awam” artinya umum, biasa.

Omong-omong tentang semua hal di atas, justru Gus Noy menemukan sebuah pertentangan istilah, sebuatan, vonis, dakwaan, sabda, dan sejenisnyalah. Bolah-boleh saja siapa pun menganggap “temuan” ini sebagai “temuan mbeling”. Sah-sah saja jika tulisan ini pun, sekali lagi, dianggap “tulisan mbeling”.

Ketika kesucian puisi dinodai oleh suatu ke-mbeling-an yang kemudian muncul istilah “puisi mbeling”, ternyata kini “puisi mbeling” sudah membuat semacam pagar pembatas dan menjelma menjadi “kesucian” baru; “kesucian puisi mbeling”. Orang-orang yang pada tahun 1972 mendeklarasikan “puisi mbeling” justru kini terjebak dalam selaput kesucian puisi mbeling. Oh ya?

Ya! Mereka sudah membuat semacam kitab suci “puisi mbeling”. Kalau kau membuat puisi main-main, jangan merasa puisi main-mainmu adalah “puisi mbeling”. Sebutan, julukan atau gelar “puisi mbeling” sudah menjadi hak milik mereka. Kalaupun kau ingin puisi main-mainmu mendapat gelar “puisi mbeling”, merekalah yang harus “menasbihkan” atau “membaptis” puisi main-mainmu itu agar layak disebut “puisi mbeling”.

Lucu memang lucu. Ironi memang ironi. Ketika dulu mereka (masih muda belia), memerkosa kesucian puisi, lalu puisi itu hamil dan melahirkan “puisi mbeling”, kini mereka (sudah tua beliau) malah tidak sudi menerima sebuah puisi apa adanya, puisi sembarangan, puisi main-main atau puisi nakal sebagai “puisi mbeling”. Di sini kata “mbeling” sudah menjadi hak milik mereka dalam kelompok puisi.

Sementara arti sesungguhnya “mbeling” pun tidak lagi boleh mbeling se-mbeling-mbelingnya. Suatu kontradiksi ketika pengasuh ruangan puisi merumuskan kata “mbeling” sebagai “sikap nakal yang tahu aturan”.

Mbeling itu sesungguhnya nakal yang tidak peduli aturan; melabrak aturan. Bagaimana bisa kata “mbeling” lantas menjadi “sikap nakal yang tahu aturan”? Sah-sah saja jika menganggap “pakem baru” itu pun sebagai “pakem mbeling”. Tapi, kalau benar-benar menghayati kata “mbeling”, jelaslah tidak begitu. Kalau mbeling masih “tahu aturan”, berarti sudah tidak mbeling lagi.

Itulah hebatnya para wakil Dewa Maha Mbeling. Pakem “mbeling itu nakal yang tidak tahu aturan” diperkosa lagi sebagai “nakal yang tahu aturan”. Seperti juga hendak memarodikan pepatah usang, “Bermbeling-mbeling dahulu, berdoktrin-doktrin kemudian”. Betapa hebatnya!

Di situ telah terjadi kecelakaan pemahaman terhadap kata “mbeling” yang justru dilakukan oleh para wakil Dewa Maha Mbeling. Dan kecelakaan ini menjadi semacam “sabda suci”, “aturan keramat”, “standar sakral”, dan “harga mati”. Alamak! Sesuatu yang “mbeling” menjadi “sabda suci”! Mantaf ‘kali!

Oleh karenanya, jika orang-orang muda suka membuat puisi main-main, slengekan, seenak kata sendiri, suka-suka, maka tidak perlulah menganggap puisi itu sebagai “puisi mbeling” karena gelar “puisi mbeling” sudah menjadi “hak milik” para wakil Dewa Maha Mbeling. Biarkan puisi-puisi itu sebagai puisi main-main, slengekan, dan suka-suka. Nikmatilah kesukaan berpuisi suka-suka itu; tidak peduli cap, vonis, gelar atau apa pun untuk menjadi “puisi mbeling”.

Ingat, kalau mereka sendiri memerkosa puisi, hamil dan melahirkan “puisi mbeling”, kau tidak perlu kuatir memerkosa “puisi mbeling” itu, lalu hamil dan melahirkan “puisi sesuka hati” atau suatu puisi seenak rasamu yang baru. Kalau mereka boleh mbeling, lantas kenapa pula kau tidak boleh suka-suka katamu?

Tapi kau takut/kuatir puisimu tidak sudi dibaca orang? Ya baca sendiri saja! Gitu aja kok repot. Masih juga nekat, pengen diakui? Ya datang saja (jangan lupa bawa segerobak tulisan yang kau anggap puisi itu) menghadap, entah kepada para wakil Tuhan Maha Puisi, atau kepada para wakil Dewa Maha Mbeling. Kalau kemudian mereka mengutuk tulisanmu itu sebagai “puisi gagal”, percayalah, Tuhan Maha Puisi atau Dewa Maha Mbeling tidak akan mengutuk karya dan dirimu. Para wakil itu memang bisa dan biasa mengangkat diri mereka menjadi Tuhan atau Dewa. Maklum sajalah. Sudah jamak.

*******
Balikpapan, 26 Desember 2011